Manusia khawatir akan banyak hal. Ada beban di masa depan dan ada sisa di masa lalu. Seperti pernah suatu waktu, saat diam, saat tak ada apa pun yang mampu membangkitkan pikiran-pikiranku di waktu lalu. Tapi tiba-tiba suatu masa dating di pikiranku. Mereka dating dalam urutan waktu yang kembali berbalik dan aku menyesalinya. Superego, yang dating saat akhir dan terlambat waktu berniat untuk kembali ke Id. Hal-hal bodoh yang kulakukan di masa lalu. Selalu anehnya, pada waktu itu kita berpikir bahwa itu adalah yang terbaik, atau setidaknya yang benar menurut diri kita sendiri. Ada suara hati yang berbisik dan kita mendengarkannya. Ego. Keberadaannya jauh di bawah sadar kita dan tubuh serta pikiran kita dipimpin oleh hati yang kadang dipimpin oleh nafsu. Pusat pikiran serta konsentrasi kita pedanya melebihi pegangan hidup kita lainnya seperti iman dan segala aturan yang katanya untuk membimbing hidup. Apa lagi yang mengendalikan hidup kita selain hati? Akal, dan hanya itu yang bias kita harapkan.
Dulu, aku terlalu banyak mendengarkan hati. Dan hanya hati yang tek pernah aku ingkari. Sepertinya akalku tak kugunakan. Sepertinya otak hanya memposisikan tempatnya yang memang sudh seharusnya berada di tempurung kepala. Lalu hal-hal bodoh yang membuatku merasa menang saat aku melakukannya saat itu, justru sekarang seperti mengendap. Dapat kurasakan aku sekarang mengendap. Tak pernah lagi kugubris suara hatiku, terlalu cengeng. Itu tidak membuatku kuat. Maka, aku mulai menggunakan otakku. Logikaku ternyata lebih bias membawaku ke tahap hidup yang lebih baik. Setidaknya perbaikan untuk diriku sendiri. Kadang-kadang saat berpikir sendiri, aku menyalahkan emosi yang bermain di murninya hati. Aku bahkan mampu merasakan desiran alirannya yang tergenjot ke kepalaku. Wajahku akan merah padam bukan merona dan tangan akan mengepal. Hamper-hampir aku tak bias merasakan pijakan kaki di bumi sebab rasanya semua darah kea rah kepala. Darah muda.
Tapi kini dapat kurasakan mengendap. Alirannya lebih terkontrol karena sejak lama aku mulai meninggalkan hatiku dan menggunakan otakku. Aku bersyukur ada waktu, aku beruntung semakin tua dn dewasa adalah pilihanku. Tahapan itu belum selesai, karena baru bias disebut bijaksana. Tapi di sini ada kembang sedap malam. Ia mekar di kala gelap dan baunya, aroma wewangian yang tersebar. Kali ini aku kembali harus mendengarkan hatiku. Menang lagi, hatiku menang lagi, mencuri perhatianku dari logika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar